Blogger Template by Blogcrowds.

Makalah BCR IKD

MAKALAH

TUGAS MATA KULIAH ILMU KEALAMAN DASAR

BENEFIT COST RATIO

DISUSUN  OLEH; 
LILIK WAHYUDI 


Dosen Pengampu : Erry Himawan, S.P.T., M.M

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA (STIESIA)
 SURABAYA
Tahun Ajaran 2014/2015





KATA PENGANTAR
Puji dan syukur  kami  panjatkan  kepada  Allah  SWT , Tuhan  Yang  Maha  Esa. Berkat  limpahan  karunia-Nya , kami  dapat  menyelesaikan tugas Benefit Cost Rasio . Tanpa  ridha  dan  kasih  sayang  serta  petunjuk  dari-Nya  mustahil tugas  ini  dapat  terselesaikan . Kami  tidak  hanya  bersyukur  kepada-Nya  saja tetapi  kami  mengucapkan  terima  kasih  kepada  teman-teman  yang  telah membantu  kami .
            Kami  membuat  makalah  ini  bertujuan  untuk  menyelasaikan  tugas  yang diberikan  oleh  dosen . Dari  pembuatan  makalah  ini  tidak  hanya  menyelesaikan tugas , tetapi  bertujuan  menambah  pengetahuan  dan  wawasan  kita  yang  berkaitan dengan Benefit Cost Rasio .
            Kiranya  makalah  ini  bisa  menambah  pengetahuan  bagi  pembaca . Meski begitu , penulis  sadar  bahwa  makalah  ini  perlu  untuk  dilakukan  perbaikan  dan penyempurnaan . Untuk  itu , saran  dan  kritik  yang  membangun  dari  pembaca akan  kami  terima  dengan  senang  hati.


                                                                        Surabaya,4 Desember 2014

                                                                                     


                                               
                                                                   Penyusun


           



DAFTAR ISI 
Kata Pengantar..........................................................................................II
Daftar Isi..................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Benefit Cost Ratio(BCR)...................................................3
2.2 Macam-Macam BCR...........................................................................5
2.3 Tahapan Aanalisis Biaya Manfaat........................................................8
2.4 Konsepsi Pinjaman Risiko Proyek KPS di Indonesia Saat Ini...........10
2.5 Lingkup dan Pengembangan Layanan PII..........................................11
2.6 Skema Penjaminan Risiko Proyek KPS PII........................................11
2.7 Kapasitas Penjaminan PII 5 Tahun Kedepan......................................14
2.8 Pencapaian PII Dalam Penjaminan Risiko Proyek KPS di Indone....15
 BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................16
3.2 Saran...................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................17

                                                                                                          





BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Latar belakang munculnya analisis manfaat-biaya adalah kaitanya dengan munculnya undang-undang pengendalian banjir pada tahun 1936 di amerika yang menyebutkan bahwa proyek akan didanai hanya jika “manfaat yang dihasilkan bagi siapa saja melebihi biaya yang diperkirakan”.  ( Ristono,Agus, Puryani, 2011) metode benefit cast ratio adalah salah satu metode yang sering digunakan dalam tahap-tahap evaluasi awal perencanaan investasi sebagai analisis tambahan dalam rangka menvalidasi hasil evaluasi yang telah dilakukan dengan metode lainnya. di samping itu metode ini sangat baik dilakukan dengan metode lainnya. dan metode ini sangat baik dilakukan dalam rangka mengevaluasi proyek-proyek pemerintah yang berdampak langsung pada masyarakat banyak ( Giatman,MSIE ,Drs. M. , 2006)
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.     Apa itu BCR?
2.     Apa saja macam-macam BCR?
3.     Konsep dasar kenapa harus ada BCR?
4.     Apakah BCR menentukan kelayakan suatu proyek?
5.     Bagaimana tahapan analisis biaya manfaat?
6.     Apa kekurangan BCR?
7.      Bagaimana contoh penerapan BCR?






1.3 TUJUAN
1.     Agar mahasiswa mengetahui tentang BCR
2.     Agar mahasiswa mengetahui macam-macam BCR
3.     Agar mahasiswa mengetahui konsep dasar BCR
4.     Agar mahasiswa mengetahui BCR bisa menentukan kelayakan suatu proyek
5.     Agar mahasiswa mengetahui tahapan analisis biaya manfaat
6.     Agar mahasiswa mengetahui kekurangan dari BCR
7.     Agar mahasiswa mengetahui contoh penerapan BCR

1.4 MANFAAT
1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui apa itu BCR dan penggunaannya
2.      Agar mahasiswa dapat mengaplikasikan BCR dalam kehidupan kedepan
3.      Untuk menyelesaikan tugas Ilmu Kealaman Dasar











BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Benefit Cost Ratio ( BCR )
      Benefit Cost Ratio merupakan salah satu metode kelayakan investasi. Pada dasarnya perhitungan metode kelayakan investasi ini lebih menekankan kepada benefit (manfaat) dan perngorbanan (biaya/ cost) suatu inveStasi, bisa berupa usaha, atau proyek. Pada umumnya jenis invetasi yang sering digunakan adalah proyek-proyek pemerintah dimana benefitnya jenis benefit langsung, manfaatnya akan terasa langsung pada masyarakat banyak.

                        Analisa manfaat biaya adalah suatu analisa proyek yang sangat umum digunakan untuk mengenal proyek-proyek  yang  bersifat umum dan dibiayai oleh pemerintah atau biasa disebut sebagai proyek pemerintah.
                        Untuk melaksanakan analisa manfaat biaya, perlu terlebih dahulu mengidentifikasikan terhadap dampak positif atau keuntungan bagi masyarakat umum dan dampak negatif yang akan menjadi konseensi bagi masyarakat umum sebagai akibat dari pelaksanaan proyek serta initial cost pengeluaran untuk biaya awal, biaya operasional dan biaya pemeliharaan proyek tersebut.
            Analisis manfaat-biaya merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui besaran keuntungan/kerugian serta kelayakan suatu proyek. Dalam perhitungannya, analisis ini memperhitungkan biaya serta manfaat yang akan diperoleh dari pelaksanaan suatu program. Dalam analisis benefit dan cost perhitungan manfaat serta biaya ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Analisis ini mempunyai banyak bidang penerapan. Salah satu bidang penerapan yang umum menggunakan rasio ini adalah dalam bidang investasi. Sesuai dengan denganmaknat ekstualnya yaitu benefit cost (manfaat-biaya) maka analisis ini mempunyai penekanan dalam perhitungan tingkat keuntungan/kerugian suatu program atau suatu rencana dengan mempertimbangkan biaya yang akan dikeluarkan serta manfaat yang akan dicapai. Penerapan analisis ini banyak digunakan oleh para investor dalam upaya mengembangkan bisnisnya.

Terkait dengan hal ini maka analisis manfaat dan biaya dalam pengembangan investasi hanya didasarkan pada rasio tingkat keuntungan dan biaya yang akan dikeluarkan atau dalam kata lain penekanan yang digunakan adalah pada rasio finansial atau keuangan.
            Dibandingkan penerapannya dalam bidang investasi, penerapan Benefit Cost Ratio (BCR) telah banyak mengalami perkembangan. Salah satu perkembangan analisis BCR antara lain yaitu penerapannya dalam bidang pengembangan ekonomi daerah. Dalam bidang pengembangan ekonomi daerah, analisis ini umum digunakan pemerintah daerah untuk menentukan kelayakan pengembangan suatu proyek. Relatif berbeda dengan penerapan BCR di bidang investasi, penerapan BCR dalam proses pemilihan suatu proyek terkait upayapengembangan ekonomi daerah relatif lebih sulit. Hal ini dikarenakan aplikasi BCR dalam sektor publik harus mempertimbangkan beberapa aspek terkait social benefit (social welfare function) dan lingkungan serta tak kalah penting adalah faktorefisiensi. Faktor efisiensi mutlak menjadi perhatian menimbang terbatasnya dana dan kemampuan pemerintah daerah sendiri. Secara terinci aspek-aspek tersebut juga mempertimbangkan dampak penerapan suatu program dalam masyarakat baik secara langsung (direct impact) maupun tidak langsung (indirect impact) faktor eksternalitas, ketidakpastian (uncertainty), risiko (risk) serta shadow price. Terkait perhitungan risiko dan ketidakpastian, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan asuransi dan melakukan lindung nilai (hedging).
            Efisiensi ekonomi merupakan kontribusi murni suatu program dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga yang menjadi perhatian utama dalam penerapan BCR dalam suatu proyek pemerintah yang berkaitan dengan sektor publik adalah redistribusi sumber daya.
            Analisis biaya-manfaat (CBA), kadang-kadang disebut analisis manfaat-biaya (BCA), adalah proses sistematis untuk menghitung dan membandingkan manfaat dan biaya dari proyek untuk dua tujuan: 
  • Untuk menentukan apakah itu adalah investasi yang sehat (pembenaran / kelayakan).
  • Untuk melihat bagaimana membandingkan dengan proyek-proyek alternatif (peringkat / prioritas tugas). Ini melibatkan membandingkan biaya total diharapkan setiap pilihan terhadap manfaat yang diharapkan total, untuk melihat apakah manfaatnya lebih besar daripada biaya, dan seberapa banyak.

CBA adalah terkait dengan, tetapi berbeda dari analisis efektivitas biaya. Dalam CBA, manfaat dan biaya yang dinyatakan dalam bentuk uang, dan disesuaikan dengan nilai waktu dari uang, sehingga semua aliran arus manfaat dan biaya proyek dari waktu ke waktu (yang cenderung terjadi pada titik-titik berbeda dalam waktu) disajikan pada dasar umum dalam hal mereka "nilai sekarang".  
            Erat terkait, tapi sedikit berbeda, teknik formal meliputi analisis efektivitas biaya, biaya utilitas, analisis dampak ekonomi, analisis dampak fiskal dan Return on Investment Sosial (SROI) analisis.

2.2 MACAM MACAM BCR
1. Benefit dan Cost Tetap:
            Misalnya suatu pryek pengairan mempunyai umur ekonomis 30 tahun, investasi awal pada awal tahun pertama adalah Rp 1 milyar sedang biaya OP Rp 20 juta/tahun, keuntungan proyek adalah Rp 126 juta/tahun. Bunga bank 5 %, maka :
Biaya tahunan :
Bunga bank 5%                       Rp 50 juta
Depresiasi 30 tahun                 Rp 15 juta
OP                                           Rp 20 juta
Total biaya tahunan                 Rp 85 juta
Benefit per tahun                    Rp 126 juta
B/C ratio = 126/85 = 1,48
Seperti pada contoh di atas, capital cost Rp 1 milyar, annual benefit Rp 126 juta, annual OP Rp 20 juta.
Tabel 4.3 B/C ratio menurut bunga bank


BUNGA
BUNGA
DEPRESIASI
OP
TOTAL COST
B/C
BANK (%)
(JUTA Rp)
(JUTA Rp)
(Rp)
TAHUNAN (Rp)
RATIO
0
0
33
20
53
2,38
3
30
21
20
71
1,77
5
50
15
20
85
1,48
7
70
11
20
101
1,25
10
100
6
20
126
1,00







2. Benefit dan Cost Tidak Tetap
            Kalau benefit dan cost tidak sama tiap tahunnya maka analisa dilakukan bedasarkan nilai sekarang (present value) atau nilai yang akan datang (future value) pada suatu waktu tertentu. Yang mempengaruhi nilai B/C ratio adalah besarnya bunga bank. Semakin rendah nilai bunga bank semakin tinggi nilai B/C ratio.
Kalau OP dianggap sebagai yang mengurangi jumlah benefit tiap tahunnya, maka nilai B/C ratio berubah. Misalnya pada bunga 5%, total biaya tahunan menjadi Rp 65 juta dan benefit tahunan menjadi Rp 126 juta – Rp 20 juta = Rp 106 juta, sehingga nilai B/C ratio menjadi 106/65 = 1,63.
Kalau ratio dihitung dengan tetap memperhitungkan biaya OP tahunan, maka disebut B/C ratio. Sedangkan kalau biaya OP dikurangkan pada benefit maka disebut B/C* ratio. Jadi harus dijelaskan cara mana yang akan dipakai.
3. Net benefit
Net benefit adalah benefit dikurangi cost. Untuk beneifit dan cost yang konstan maka net benefit tahunan adalah selisih dari kedua parameter ini, sedangkan untuk benefit dan cost yang tidak konstan, selisih harus dihitung atas present value atau future value pada waktu yang sama. Pengurangan benefit dengan biaya OP tidak mempengaruhi net benefit. Sebagai contoh pada bunga 5% benefit dikurangi OP = Rp 106 juta sedang biaya tahunan Rp 65 juta maka net benefit = Rp 106 juta – Rp 65 juta = Rp 41 juta sama kalau benefit tahunan tidak dikurangi dengan biaya OP tahunan, yaitu Rp 126 juta – Rp 85 juta = Rp 41 juta

BUNGA
BUNGA
DEPRESIASI
OP
TOTAL COST
BENEFIT
B/C
BANK (%)
(JUTA Rp)
(JUTA Rp)
(Rp)
(TAHUNAN Rp)
(TAHUNAN Rp)
(Rp)
0
0
33
20
53
126
73
3
30
21
20
71
126
55
5
50
15
20
85
126
41
7
70
11
20
101
126
25
10
100
6
20
126
126
0

Menentukan Kelayakan Pendirian Proyek

Benefit cost ratio analysis secara matematis merupakan perbandingan nilai ekuivalen semua benefit terhadap nilai ekuivalen semua biaya. Perhitungan ekuivalensi bisa menggunakan salah satu dari beberapa analisis.
Rumus :
 B/C=  PWbenefit/(PW cost)=  FWbenefit/FWcost=AWbenefit/Awcost

Untuk kriteria pengambilan keputusan untuk alternatif tunggal adalah dengan cara melihat nilai dari B/C apakah besar dari sama dengan satu atau kecil dari satu.


Berarti
Maka
B/C ≥ 1
alternatif investasi atau proyek layak (feasible)
proyek diterima
B/C < 1
alternatif investasi atau proyek tidak layak (not feasible)
proyek ditolak
B/C = 1
alternatif investasi atau proyek impas (tidak untung/rugi)
proyek dilaksanakan atau tidak dilaksanakan tidak berpengaruh


2.3 Tahapan Analisis Biaya Manfaat (Cost Benefit Analysis)
        Menurut Lawrence dan Mears (2004) dalam executive summery Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum (2011), tahapan dasar dalam melakukan analisis biaya manfaat secara umum meliputi:

a.  Penetapan Tujuan Analisis Dengan Tepat
            Sebelum data dikumpulkan, penentuan tujuan analisis menjadi vital. Misalnyaapakah yang akan dievaluasi nantinya hanya satu proyek/aktivitas ataubeberapa. Untuk kasus pertama, maka tujuan utamanya adalah pendalamansedangkan pada kasus kedua adalah perbandingan. Jenis data yang akandikumpulkan tentu saja akan berbeda. Pada kasus pendalaman, parameter- parameteryang dikembangkan dalam penentuan biaya dan manfaat bisasangat spesifik, namun hal ini belum tentu dapat dilaksanakan jika kasusnyaadalah yang kedua dimana lebih diperlukan parameter agregat yang tersedia secara umum untuk tiap aktivitas atau proyek sehingga dapatdibandingkan.

b. Penetapan Perspektif Yang Dipergunakan (Identifikasi Pemangku kepentingan yang Terlibat)
            Penetapan perspektif dalam memperhitungkan biaya dan manfaat perlu dilakukan dari awal untuk mempertimbangkan sensitivitas hasilnya. Dalamkonteks barang publik seperti hasil penelitian dan pengembangan yangnantinya diproduksi masal oleh swasta dan dipergunakan luas olehmasyarakat, komponen pemangku kepentingan masyarakat sangat pentinguntuk dilibatkan sebagai beneficiaries agar tidak menakar terlalu rendahmanfaat yang ada.

c. Mengidentifikasi Biaya dan Manfaat
            Tahapan selanjutnya yang krusial adalah mengidentifikasi semua manfaat danbiaya. Secara umum dalam memperhitungkan manfaat terdapat duakomponen yaitu (i) manfaat langsung dan (ii) manfaat tidak langsung.Manfaat langsung adalah nilai kepuasan yang dirasakan oleh penerimamanfaat terkait baik dalam bentuk nyata (barang) atau tidaknyata(intangible) seperti jasa. Pengukuran manfaat langsung atas sebuahproduk pada umumnya dilakukan dengan harga pasar untuk proyek swastadan harga bayangan untuk proyek pemerintah dengan ukuran surpluskonsumen pada kurva permintaan barangnya.


Manfaat tidak langsung secara  teoretis dikenal dengan istilah eksternalitas, yaitu manfaat yang dirasakan oleh pihak lain yang bukan penerima manfaat utama dari aktivitas atauproduk atau proyek publik tersebut. Misalnya jika diproduksi alat atauteknologi penanganan kemacetan lalu lintas, maka dengan berkurangnyapolusi udara akibat penurunan kemacetan sebenarnya penduduk kotasebagai pihak lain mendapatkan benefit berupa peningkatan kualitas hidup.Persoalan yang muncul kemudian adalah seberapa jauh hal-hal yang semakinjauh kaitannya akan ikut diperhitungkan dalam manfaat maupun biaya.

d. Menghitung, Mengestimasi, Menskalakan dan Mengkuantifikasi Biaya dan Manfaat
            Setelah komponen biaya dan manfaat diidentifikasi pada tahap sebelumnya mengkuantifikasikan dalam satuan moneter (jika memungkinkan) atau menskalakan beberapa item yang tidak memiliki satuan kuantitiatif dan selanjutnya dihitung untuk seluruh nilai yang satuannya sama menjadi total biaya dan manfaat.

e.  Memperhitungkan Jangka Waktu
            Discount factor adalah nilai pengurang dalam masa sekarang dari manfaat dan biaya yang akan terjadi pada periode masa yang akan datang. Penggunaan discount factor sangat penting jika benefit dan biaya yang muncul lebih dari satu periode dan untuk memperhitungkan ketidakpastian.

f. Menguraikan Keterbatasan dan Asumsi
            Karena pada tahap kedua perspektif menjadi penentu lingkup manfaat dan biaya yang diperhitungkan, maka keterbatasan atas tidak dimasukkanya hal- hal yang jauh kaitannya adalah bagian dari keterbatasan dan asumsi yang harus dijelaskan agar pengguna informasi analisis CBA memahami batasan perhitungannya.




2.4  Konsepsi Penjaminan Risiko Proyek KPS di Indonesia Saat Ini

1) Kebutuhan Penjaminan dalam Skema Infrastruktur KPS

Pada dasarnya, skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public-Private Partnership(PPP) adalah skema yang memungkinkan penyediaan infrastruktur Pemerintah untuk dikembangkan dan dikelola oleh investor swasta. Skema ini akan mencakup kerja sama antara Pemerintah Daerah, Kementerian atau, dalam kasus tertentu, perusahaan milik negara selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) mewakili pihak publik/Pemerintah dan investor swasta dalam pembangunan proyek infrastruktur.
Mengingat proyek KPS infrastruktur pada umumnya memiliki jangka waktu yang lama (lebih dari 15 tahun), pihak swasta memiliki kekhawatiran atas berbagai risiko transaksi dari proyek infrastruktur KPS, khususnya risiko-risiko yang terkait dengan tindakan/tiadanya tindakan Pemerintah (risiko politik), seperti perubahan peraturan perundangan, ekspropriasi, cidera janji Pemerintah, dan sebagainya.
Risiko-risiko tersebut akan menjadi lebih relevan untuk proyek infrastruktur yang bernilai relative besar dan melibatkan investasi oleh pemodal dan perbankan asing. Untuk mengatasi risiko tersebut, pihak swasta seringkali membutuhkan penjaminan atas risiko infrastruktur dari Pemerintah.

2) Penjaminan Risiko pada Proyek KPS melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur
(BUPI)

PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero), atau PT PII (“PII”), didirikan sebagai respon
Pemerintah terhadap kebutuhan akan adanya penjaminan yang memadai terhadap risiko
politik yang melekat pada investasi di bidang infrastruktur. Melalui penjaminan tersebut,
diharapkan akan mendorong keikutsertaan pihak swasta yang lebih luas dalam pembangunan
infrastruktur khususnya melalui kerangka KPS.
Sebagai dasar pelaksanaan KPS, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 67/2005, sebagaimana telah diubah pertama kali melalui Perpres 13/2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres 13/2010), dan kedua kali melalui
Perpres 56/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres
56/2011). Perpres 13/2010 menyebutkan adanya dukungan kontinjen berupa Jaminan
Pemerintah yang dapat diberikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) melalui suatu Badan Usaha
Penjaminan Infrastruktur (BUPI).
Untuk itu, PII dibentuk pada tanggal 30 Desember 2009 sebagai salah satu upaya Pemerintah mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia, melalui penyediaan jaminan yang dilakukan dengan proses yang akuntabel, transparan, dan kredibel. Disamping itu, kehadiran PII sebagai BUPI diharapkan akan mendorong masuknya pendanaan dari swasta
untuk sektor infrastruktur di Indonesia melalui peningkatan kelayakan kredit (creditworthiness) yang dapat berdampak pada penurunan cost of fund terhadap proyek-proyek infrastruktur.
Secara ringkas, tujuan pembentukan PII adalah untuk:
• Meningkatkan kelayakan kredit atas proyek-proyek KPS Infrastruktur melalui pemberian
penjaminan atas risiko infrastruktur;
• Meningkatkan tata kelola dan proses yang transparan dalam pemberian Penjaminan atas
risiko proyek infrastruktur yang terkait dengan Pemerintah;
• Memfasilitasi keberhasilan transaksi bagi PJPK (Kementerian, BUMN, Pemda) melalui
penyediaan penjaminan bagi proyek KPS yang telah distruktur dengan baik; dan
• Memagari (ring-fencing) kewajiban kontinjensi Pemerintah dan meminimalkan ‘sudden
shock’ kepada APBN.

2.5 Lingkup dan Pengembangan Layanan PII

Pada dasarnya, PII bertindak sebagai Penjamin (Guarantee Provider) kepada sektor swasta atas
berbagai risiko infrastruktur yang mungkin timbul sebagai akibat dari tindakan atau tidak
adanya tindakan Pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian finansial atas Perjanjian KPS,seperti keterlambatan pengurusan perijinan, lisensi, perubahan peraturan perundanganundangan,ketiadaan penyesuaian tarif, kegagalan pengintegrasian jaringan/fasilitas dan risikorisiko lainnya yang ditanggung atau dialokasikan ke Pemerintah dalam masing-masing Perjanjian KPS.
Berbagai peraturan perundangan yang mengatur operasional penjaminan PII adalah sebagaiberikut:
Perpres No.67/2005, j.o Perpres No.13/2010 , jo Perpres No.56/2011 (“Perpres 67/2010 j.o Perpres 13/2010 jo. Perpres 56/2011”).
Perpres No. 78 tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan
Infrastruktur (“Perpres 78/2010”).
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 260/PMK.011/2010 tahun 2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penjaminan Infrastuktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha (“PMK 260/2010”).
Berdasarkan regulasi di atas, bisnis utama dari PII adalah menyediakan penjaminan atas
kewajiban finansial PJPK sebagai wakil Pemerintah dalam suatu Perjanjian KPS.

2.6 Skema Penjaminan Risiko Proyek KPS PII

1) Model Bisnis Penjaminan PII

Penjaminan infrastruktur merupakan bentuk dukungan fiskal dari Kemenkeu untuk proyek
infrastruktur yang didanai pihak swasta. Penjaminan ini dimaksudkan untuk menjamin
3 komitmen kontraktual PJPK dalam memenuhi kewajiban keuangannya dalam Perjanjian KPS. Sesuai regulasi yang ada, penjaminan tersebut dapat diberikan melalui BUPI.

  Hubungan Kontraktual & Kewajiban Pembayaran

Selaku BUPI, PII akan mengadakan Perjanjian Penjaminan dengan Investor atau Badan Usaha
(BU), yang menjamin kinerja PJPK dalam memenuhi Perjanjian KPS, spesifik terhadap risikorisiko yang dialokasikan kepada PJPK dalam Perjanjian KPS, dan telah disepakati oleh PII untuk diikutsertakan dalam struktur penjaminan.
Regulasi mengatur bahwa untuk setiap pembayaran yang dilakukan PII berdasarkan Perjanjian Penjaminan, PII memiliki hak regres kepada PJPK, dimana PJPK berkewajiban untuk menggantikan nilai klaim yang dibayarkan PII tersebut, ditambah nilai waktu dari uang (time value of money). Secara rinci, hak regres PII dan kewajiban penggantian oleh PJPK ini diatur dalam suatu Perjanjian Regres antara PII dan PJPK.

2) Cakupan Risiko Penjaminan Infrastruktur

Konsisten dengan PMK 260/2010 tentang cakupan risiko penjaminan infrastruktur oleh PII,kategori risiko yang terkait kewajiban finansial PJPK harus mengikuti prinsip alokasi risiko, yang didefinisikan sebagai pengalokasian risiko kepada pihak yang relatif lebih mampu mengendalikan risiko. Regulasi ini juga mensyaratkan PII untuk menerbitkan Acuan Alokasi Risiko dalam membantu PJPK melakukan identifikasi dan alokasi risiko.
Saat ini acuan ini telah tersedia sebagai referensi dan mencakup detil mengenai kemungkinan cakupan risiko dalam penjaminan infrastruktur. Walaupun dalam Acuan tersebut, kategori risiko yang secara tepat memenuhi prinsip ini akan bervariasi sesuai sektornya, pengalokasian final akan bergantung kepada kondisi spesifik dari masing-masing proyek KPS.

3) Kriteria Kelayakan Proyek KPS untuk Evaluasi Penjaminan

Setiap proyek KPS yang diusulkan untuk menerima penjaminan melalui PII harus memenuhi kriteria berikut ini:
Kriteria 1 : Proyek harus merupakan KPS, tunduk kepada Perpres 67/2005 j.o. Perpres 13/2010 j.o. Perpres 56/2011.
Kriteria 2: Proyek tunduk kepada regulasi sektor terkait dan rencana pengadaan dilakukan
melalui proses tender yang transparan dan kompetitif.
Kriteria 3: Proyek harus layak secara teknis, ekonomi, finansial, dan lingkungan, serta secara sosial tidak berdampak negatif.
Kriteria 4: Perjanjian KPS harus memiliki ketentuan yang sesuai untuk arbitrase yang mengikat.

4) Co-Guarantee dan Mekanisme Satu Pintu

Co-Guarantee adalah penjaminan yang melibatkan satu atau lebih penjamin tambahan (Coguarantor)bersama dengan PII. Penjaminan dapat dilakukan dengan cara penjaminan hanya oleh PII, atau Penjaminan bersama yang mencakup Penjaminan PII bersama-sama dengan pihak lain dan atau dengan Pemerintah. Penjaminan bersama antara PII dan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam PMK 260/2010, dilakukan berdasarkan pembagian risiko infrastruktur antara PII dan Pemerintah.
Namun demikian, Pemerintah menekankan pentingnya optimalisasi penggunaan penjaminan PII, untuk menjaga risiko fiskal negara dan konsistensi terhadap mekanisme pemagaran atau ring fencing atas APBN. Maka, selain melalui komitmen Pemerintah untuk mencukup permodalan PII melalui mekanisme anggaran negara berupa Penanaman Modal Negara, optimalisasi penjaminan PII dapat dicapai melalui kerjasama antara PII dengan lembag keuangan multilateral atau pihak lain dengan tujuan dan fungsi serupa.


 Prioritas Penjaminan

Saat ini, sedang difinalkan antara PII dan Bank Dunia dokumentasi terkait dukungan Bank Dunia dalam bentuk fasilitas penjaminan yang ditujukan untuk memungkinan PII melakukan coguarantee dengan Bank Dunia pada proyek-proyek tertentu yang disepakati kedua belah pihak.

5) Aplikasi Skema Penjaminan PII

Salah satu contoh skema penjaminan yang telah dilakukan PII adalah pada Proyek KPS Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2x1000 MW atau Central Java Power Plant (CJPP).Profil proyek ini beserta struktur penjaminannya dapat dilihat pada Tab berikut.

 1. Profil Proyek KPS PLTU Jawa Tengah dan Struktur Penjaminannya

Terkait kapasitas penjaminan PII yang masih terbatas (dengan mempertimbangkan modal PII dibandingkan dengan nilai proyek dan CJPP sebagai proyek pertama PII), Pemerintah RI melalui Menteri Keuangan juga terlibat sebagai co-guarantor bersama-sama dengan PII. Skema penjaminan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

 Struktur Penjaminan CJPP

Berbagai dokumen perjanjian terkait yang disiapkan dan dilakukan sinkronisasi dengan difasilitasi oleh PII adalah sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini.

2. Dokumentasi Perjanjian terkait Penjaminan Proyek CJPP
Jenis Perjanjian dan Para Pihak Isi Perjanjian

§  Perjanjian KPS: Power Purchase
§  Agreement (PPA)
§  Para Pihak : PLN dengan BU (PT
§  Bhimasena Power Indonesia
§  atau BPI)
§  Kewajiban IPP/Seller/Badan Usaha
§  Kewajiban PLN
§  Jual Beli Listrik
§  Keadaan Kahar/Force Majeure
§  Terminasi
§  Representasi dan Jaminan, BU dan PLN
§  Arbitrasi : ICC Rules
Hukum yang Berlaku: Indonesia
Perjanjian Penjaminan :
Guarantee Agreement Para
Pihak : BU (BPI) dengan PII dan
Pemerintah Indonesia
§  Cakupan Penjaminan, berdasarkan pasal-pasal dalam PPA
§  Tenor Penjaminan
§  Persyaratan dan tata cara pengajuan klaim
§  Mekanisme pembayaran klaim
§  Biaya Penjaminan
§  Terminasi
§  Arbitrasi : ICC Rules (sesuai PPA)
§  Hukum yang Berlaku: Indonesia
Perjanjian Regres
Para Pihak : PLN dengan PII dan
PLN dengan Pemerintah
Indonesia
§  Indemnity PLN kepada PII sebagai Penjamin
§  Indemnity PLN kepada Pemerintah Indonesia sebagai Penjamin
§  Bunga terhadap pembayaran klaim
§  Default interest atas pembayaran regres
§  Mekanisme pembayaran regres
§  Arbitrasi : BANI
§  Hukum yang Berlaku: Indonesia
§  Bahasa Perjanjian Indonesia

2.7 Kapasitas Penjaminan PII 5 Tahun Kedepan

Pemerintah telah melakukan penyertaan modal ke PII sebesar Rp2 Triliun melalui APBN 2009 dan 2010, dan telah merencanakan akan menambah penyertaan sebesar Rp1,5 Triliun dari APBN 2011. Dalam tahap awal, PII akan menggunakan pendekatan yang konservatif dalam pemanfaaan kapasitas penjaminannya. Seiring dengan berjalannya waktu, PII secara bertahap akan mengurangi ketergantungan pada APBN, dan akan meningkatkan kapasitas penjaminannya melalui kerjasama dengan institusi penyedia jaminan sejenis, seperti institusi multilateral (Bank
Dunia, ADB, dsb.), institusi bilateral (lembaga pembiayaan ekspor) dan institusi sejenis lainnya. Kapasitas penjaminan PII akan meningkat seiring dengan peningkatan modal yang menjadi sumber dana penjaminan. Jumlah proyek yang dapat dijamin akan menjadi lebih banyak lagi, terutama apabila dapat memanfaatkan fasilitas penjaminan yang sedang disiapkan bersama lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Sesuai dengan regulasi, apabila proyek infrastruktur dinyatakan layak untuk dijamin sementara kapasitas
penjaminan PII terbatas dan keterlibatan co-guarantor lain (jika ada) juga tidak dapat menutupi kebutuhan nilai penjaminan, maka Menteri Keuangan akan menutupi kekurangannya dengan cara melakukan penambahan modal kepada PII melalui APBN atau bertindak sebagai coguarantor dan melakukan Penjaminan bersama dengan PII.
Dengan kata lain, mengacu kepada regulasi yang ada, kapasitas permodalan PII bukan
merupakan suatu kendala dalam memberikan dukungan bagi percepatan pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Hal terpenting yang perlu disiapkan adalah proyek yang distruktur dengan baik dengan alokasi risiko infrastruktur yang wajar untuk dapat memastikan bankability dan sustainability dari proyek infrastruktur, dimana PII berperan membantu PJPK dalam mengembangkannya.










2.8 Pencapaian PII dalam Penjaminan Risiko Proyek KPS di Indonesia

Beberapa peristiwa yang menjadi pencapaian yang dilakukan PII dalam penjaminan
infrastruktur terhadap proyek KPS adalah sebagai berikut.

1) Penandatanganan Perjanjian Penjaminan Proyek KPS PLTU Jawa Tengah 2x1000 MW

Penandatanganan Perjanjian Penjaminan Proyek KPS PLTU Jawa Tengah 2x1000 MW antara PII dan Pemerintah RI sebagai penjamin (“Penjamin”) dengan PT Bhimasena Power Indonesia (“PT BPI”) sebagai Badan Usaha menandai keberhasilan proyek tersebut sebagai proyek infrastruktur
KPS pertama dalam model bisnis penjaminan Pemerintah yang baru, yaitu melalui PII sebagai Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur berdasarkan Perpres 78/2010. Peristiwa tersebut dilakukan bersamaan dengan penandatanganan Perjanjian Kerjasama Pembelian Listrik (Power Purchase Agreement) antara PT PLN sebagai PJPK dan PT BPI dan Perjanjian Regres antara Penjamin dan PT PLN.
Penandatanganan dokumen proyek ini telah membuktikan bahwa skema KPS yang didasarkan pada proses yang terbuka, kompetitif, transparan dan akuntabel dapat dilakukan di Indonesia. Selain merupakan proyek Showcase KPS skala besar pertama dengan nilai investasi lebih dari Rp30 Triliun, Proyek KPS PLTU Jawa Tengah ini merupakan proyek KPS pertama yang dilaksanakan berdasarkan Perpres 67/2010 jo. Perpres 13/2010 jo. Perpres 56/2011.
Selanjutnya, pencapaian ini akan menjadi acuan dalam penyediaan penjaminan infrastruktur lainnya di masa depan oleh PII.

2) Penerbitan Acuan Alokasi Risiko Proyek KPS

Sesuai dengan PMK 260/2010 yang mengamanatkan PII untuk menerbitkan acuan mengenai Kategori Risiko Infrastruktur yang bisa menjadi rujukan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam Proyek infrastruktur Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), PII meluncurkan Panduan Alokasi Risiko (Risk Allocation Guideline) pada tanggal 30 Maret 2011. Dalam proses penyusunannya, Panduan Alokasi Risiko ini telah melalui proses konsultasi publik dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan yang relevan, antara lain Kementerian Keuangan, Bappenas, BKPM, PJPK terkait (Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah), investor/pengembang,perbankan, lembaga multilateral, dan pihak-pihak lain yang mempunyai kompetensi di bidang
Risiko Infrastruktur.

3) Penandatanganan MoU terkait implementasi proyek Penyediaan Air Bersih kota Bandar
Lampung

PII juga telah berhasil memfasilitasi penandatanganan MoU antara Pemkot Bandar Lampung, PDAM Bandar Lampung, BPPSPAM, Bank Dunia, dan Pemerintah Singapura melalui (Singapore Cooperation Enterprise) untuk mendukung implementasi proyek Penyediaan Air Bersih Way Rilau, kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. MoU ini diharapkan akan menjadi dasar komitmen para pihak untuk mensukseskan proyek ini.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Konsep BCR Diterapkan untuk proyek-proyek yang bertujuan melayani kepentingan sosial. Biasanya dihadapi oleh pemerintah atau lembaga-lembaga sosial, karena yang menanggung biaya adalah pemerintah/lembaga sosial, tetapi manfaatnya untuk masyarakat

SARAN
Saran yang dapat saya berikan ialah, karena dalam penyusunan makalah ini kami hanya berlandaskan dari buku-buku atau referensi lain yang berhubungan dalam penyusunan makalah mengenai Benefit Cost Ratio ini, oleh karena itu kami menyarankan di adakannya kunjungan lapangan dan praktek langsung. Dengan kunjungan lapangan dan praktek langsung tersebut bermaksud untuk mengetahui secara langsung tentang Benefit Cost Ratio tersebut serta penyusunannya.














DAFTAR PUSTAKA


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda