MAKALAH
TUGAS MATA KULIAH ILMU KEALAMAN DASAR
“BENEFIT COST RATIO”
DISUSUN OLEH;
LILIK
WAHYUDI
Dosen Pengampu : Erry Himawan, S.P.T., M.M
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA (STIESIA)
SURABAYA
Tahun Ajaran 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami
panjatkan kepada Allah SWT , Tuhan Yang Maha
Esa. Berkat
limpahan karunia-Nya , kami dapat
menyelesaikan tugas Benefit Cost Rasio . Tanpa ridha
dan kasih sayang
serta petunjuk dari-Nya
mustahil tugas ini dapat
terselesaikan . Kami tidak hanya
bersyukur kepada-Nya saja tetapi
kami mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman
yang telah membantu kami .
Kami membuat makalah ini
bertujuan untuk menyelasaikan tugas yang diberikan oleh dosen . Dari
pembuatan makalah ini
tidak hanya menyelesaikan tugas , tetapi bertujuan
menambah pengetahuan dan
wawasan kita yang
berkaitan dengan Benefit Cost Rasio .
Kiranya makalah ini bisa menambah pengetahuan bagi pembaca . Meski begitu , penulis sadar
bahwa makalah ini
perlu untuk dilakukan
perbaikan dan penyempurnaan .
Untuk itu , saran dan
kritik yang membangun
dari pembaca akan kami
terima dengan senang
hati.
Surabaya,4 Desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................II
Daftar Isi..................................................................................................III
Kata Pengantar..........................................................................................II
Daftar Isi..................................................................................................III
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah...............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Benefit Cost
Ratio(BCR)...................................................3
2.2 Macam-Macam BCR...........................................................................5
2.3 Tahapan Aanalisis Biaya
Manfaat........................................................8
2.4 Konsepsi Pinjaman Risiko
Proyek KPS di Indonesia Saat Ini...........10
2.5 Lingkup dan Pengembangan
Layanan PII..........................................11
2.6 Skema Penjaminan Risiko
Proyek KPS PII........................................11
2.7 Kapasitas Penjaminan PII 5
Tahun Kedepan......................................14
2.8 Pencapaian PII Dalam
Penjaminan Risiko Proyek KPS di Indone....15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................16
3.2
Saran...................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Latar belakang munculnya analisis manfaat-biaya
adalah kaitanya dengan munculnya undang-undang pengendalian banjir pada tahun
1936 di amerika yang menyebutkan bahwa proyek akan didanai hanya jika “manfaat
yang dihasilkan bagi siapa saja melebihi biaya yang diperkirakan”. (
Ristono,Agus, Puryani, 2011) metode benefit cast ratio adalah salah satu metode
yang sering digunakan dalam tahap-tahap evaluasi awal perencanaan investasi
sebagai analisis tambahan dalam rangka menvalidasi hasil evaluasi yang telah
dilakukan dengan metode lainnya. di samping itu metode ini sangat baik
dilakukan dengan metode lainnya. dan metode ini sangat baik dilakukan dalam
rangka mengevaluasi proyek-proyek pemerintah yang berdampak langsung pada
masyarakat banyak ( Giatman,MSIE ,Drs. M. , 2006)
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
itu BCR?
2. Apa
saja macam-macam BCR?
3. Konsep
dasar kenapa harus ada BCR?
4. Apakah
BCR menentukan kelayakan suatu proyek?
5. Bagaimana
tahapan analisis biaya manfaat?
6. Apa
kekurangan BCR?
7. Bagaimana
contoh penerapan BCR?
1.3 TUJUAN
1. Agar
mahasiswa mengetahui tentang BCR
2. Agar
mahasiswa mengetahui macam-macam BCR
3. Agar
mahasiswa mengetahui konsep dasar BCR
4. Agar
mahasiswa mengetahui BCR bisa menentukan kelayakan suatu proyek
5. Agar
mahasiswa mengetahui tahapan analisis biaya manfaat
6. Agar
mahasiswa mengetahui kekurangan dari BCR
7. Agar
mahasiswa mengetahui contoh penerapan BCR
1.4 MANFAAT
1. Agar
mahasiswa dapat mengetahui apa itu BCR dan penggunaannya
2. Agar
mahasiswa dapat mengaplikasikan BCR dalam kehidupan kedepan
3. Untuk
menyelesaikan tugas Ilmu Kealaman Dasar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Benefit Cost Ratio ( BCR )
Benefit Cost Ratio merupakan salah
satu metode kelayakan investasi. Pada dasarnya perhitungan metode kelayakan
investasi ini lebih menekankan kepada benefit (manfaat) dan perngorbanan
(biaya/ cost) suatu inveStasi, bisa berupa usaha, atau proyek. Pada umumnya
jenis invetasi yang sering digunakan adalah proyek-proyek pemerintah dimana
benefitnya jenis benefit langsung, manfaatnya akan terasa langsung pada masyarakat
banyak.
Analisa
manfaat biaya adalah suatu analisa proyek yang sangat umum digunakan untuk
mengenal proyek-proyek yang bersifat umum dan dibiayai oleh pemerintah
atau biasa disebut sebagai proyek pemerintah.
Untuk
melaksanakan analisa manfaat biaya, perlu terlebih dahulu mengidentifikasikan
terhadap dampak positif atau keuntungan bagi masyarakat umum dan dampak negatif
yang akan menjadi konseensi bagi masyarakat umum sebagai akibat dari
pelaksanaan proyek serta initial cost pengeluaran untuk biaya awal,
biaya operasional dan biaya pemeliharaan proyek tersebut.
Analisis
manfaat-biaya merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui besaran
keuntungan/kerugian serta kelayakan suatu proyek. Dalam perhitungannya,
analisis ini memperhitungkan biaya serta manfaat yang akan diperoleh dari
pelaksanaan suatu program. Dalam analisis benefit dan cost perhitungan manfaat
serta biaya ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Analisis
ini mempunyai banyak bidang penerapan. Salah satu bidang penerapan yang umum
menggunakan rasio ini adalah dalam bidang investasi. Sesuai dengan denganmaknat
ekstualnya yaitu benefit cost (manfaat-biaya) maka analisis ini mempunyai
penekanan dalam perhitungan tingkat keuntungan/kerugian suatu program atau
suatu rencana dengan mempertimbangkan biaya yang akan dikeluarkan serta manfaat
yang akan dicapai. Penerapan analisis ini banyak digunakan oleh para investor
dalam upaya mengembangkan bisnisnya.
Terkait dengan hal ini maka analisis
manfaat dan biaya dalam pengembangan investasi hanya didasarkan pada rasio
tingkat keuntungan dan biaya yang akan dikeluarkan atau dalam kata lain
penekanan yang digunakan adalah pada rasio finansial atau keuangan.
Dibandingkan
penerapannya dalam bidang investasi, penerapan Benefit Cost Ratio (BCR) telah
banyak mengalami perkembangan. Salah satu perkembangan analisis BCR antara lain
yaitu penerapannya dalam bidang pengembangan ekonomi daerah. Dalam bidang
pengembangan ekonomi daerah, analisis ini umum digunakan pemerintah daerah
untuk menentukan kelayakan pengembangan suatu proyek. Relatif berbeda dengan
penerapan BCR di bidang investasi, penerapan BCR dalam proses pemilihan suatu
proyek terkait upayapengembangan ekonomi daerah relatif lebih sulit. Hal ini
dikarenakan aplikasi BCR dalam sektor publik harus mempertimbangkan beberapa
aspek terkait social benefit (social welfare function) dan lingkungan serta tak
kalah penting adalah faktorefisiensi. Faktor efisiensi mutlak menjadi perhatian
menimbang terbatasnya dana dan kemampuan pemerintah daerah sendiri. Secara
terinci aspek-aspek tersebut juga mempertimbangkan dampak penerapan suatu
program dalam masyarakat baik secara langsung (direct impact) maupun tidak
langsung (indirect impact) faktor eksternalitas, ketidakpastian (uncertainty),
risiko (risk) serta shadow price. Terkait perhitungan risiko dan
ketidakpastian, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan asuransi dan melakukan
lindung nilai (hedging).
Efisiensi
ekonomi merupakan kontribusi murni suatu program dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Sehingga yang menjadi perhatian utama dalam penerapan
BCR dalam suatu proyek pemerintah yang berkaitan dengan sektor publik adalah
redistribusi sumber daya.
Analisis
biaya-manfaat (CBA), kadang-kadang disebut analisis manfaat-biaya (BCA), adalah
proses sistematis untuk menghitung dan membandingkan manfaat dan biaya dari
proyek untuk dua tujuan:
- Untuk menentukan apakah itu adalah investasi yang sehat (pembenaran / kelayakan).
- Untuk melihat bagaimana membandingkan dengan proyek-proyek alternatif (peringkat / prioritas tugas). Ini melibatkan membandingkan biaya total diharapkan setiap pilihan terhadap manfaat yang diharapkan total, untuk melihat apakah manfaatnya lebih besar daripada biaya, dan seberapa banyak.
CBA adalah terkait dengan, tetapi
berbeda dari analisis efektivitas biaya. Dalam CBA, manfaat dan biaya yang
dinyatakan dalam bentuk uang, dan disesuaikan dengan nilai waktu dari uang,
sehingga semua aliran arus manfaat dan biaya proyek dari waktu ke waktu (yang
cenderung terjadi pada titik-titik berbeda dalam waktu) disajikan pada dasar
umum dalam hal mereka "nilai sekarang".
Erat
terkait, tapi sedikit berbeda, teknik formal meliputi analisis efektivitas
biaya, biaya utilitas, analisis dampak ekonomi, analisis dampak fiskal dan
Return on Investment Sosial (SROI) analisis.
2.2 MACAM
MACAM BCR
1.
Benefit dan Cost Tetap:
Misalnya suatu pryek pengairan mempunyai umur ekonomis 30
tahun, investasi awal pada awal tahun pertama adalah Rp 1 milyar sedang biaya
OP Rp 20 juta/tahun, keuntungan proyek adalah Rp 126 juta/tahun. Bunga bank 5
%, maka :
Biaya tahunan :
Bunga bank 5% Rp 50 juta
Depresiasi 30 tahun Rp 15 juta
OP Rp 20 juta
Total biaya tahunan Rp 85 juta
Benefit per tahun Rp 126 juta
B/C ratio = 126/85 = 1,48
Seperti pada contoh di atas,
capital cost Rp 1 milyar, annual benefit Rp 126 juta, annual OP Rp 20 juta.
Tabel 4.3 B/C ratio menurut
bunga bank
BUNGA
|
BUNGA
|
DEPRESIASI
|
OP
|
TOTAL
COST
|
B/C
|
BANK
(%)
|
(JUTA
Rp)
|
(JUTA
Rp)
|
(Rp)
|
TAHUNAN
(Rp)
|
RATIO
|
0
|
0
|
33
|
20
|
53
|
2,38
|
3
|
30
|
21
|
20
|
71
|
1,77
|
5
|
50
|
15
|
20
|
85
|
1,48
|
7
|
70
|
11
|
20
|
101
|
1,25
|
10
|
100
|
6
|
20
|
126
|
1,00
|
2.
Benefit dan Cost Tidak Tetap
Kalau benefit dan cost tidak sama tiap tahunnya maka
analisa dilakukan bedasarkan nilai sekarang (present value) atau nilai yang
akan datang (future value) pada suatu waktu tertentu. Yang mempengaruhi nilai
B/C ratio adalah besarnya bunga bank. Semakin rendah nilai bunga bank semakin
tinggi nilai B/C ratio.
Kalau OP dianggap sebagai
yang mengurangi jumlah benefit tiap tahunnya, maka nilai B/C ratio berubah.
Misalnya pada bunga 5%, total biaya tahunan menjadi Rp 65 juta dan benefit tahunan
menjadi Rp 126 juta – Rp 20 juta = Rp 106 juta, sehingga nilai B/C ratio
menjadi 106/65 = 1,63.
Kalau ratio dihitung dengan
tetap memperhitungkan biaya OP tahunan, maka disebut B/C ratio. Sedangkan kalau
biaya OP dikurangkan pada benefit maka disebut B/C* ratio. Jadi harus
dijelaskan cara mana yang akan dipakai.
3. Net
benefit
Net benefit adalah benefit
dikurangi cost. Untuk beneifit dan cost yang konstan maka net benefit tahunan
adalah selisih dari kedua parameter ini, sedangkan untuk benefit dan cost yang
tidak konstan, selisih harus dihitung atas present value atau future value pada
waktu yang sama. Pengurangan benefit dengan biaya OP tidak mempengaruhi net
benefit. Sebagai contoh pada bunga 5% benefit dikurangi OP = Rp 106 juta sedang
biaya tahunan Rp 65 juta maka net benefit = Rp 106 juta – Rp 65 juta = Rp 41
juta sama kalau benefit tahunan tidak dikurangi dengan biaya OP tahunan, yaitu
Rp 126 juta – Rp 85 juta = Rp 41 juta
BUNGA
|
BUNGA
|
DEPRESIASI
|
OP
|
TOTAL COST
|
BENEFIT
|
B/C
|
BANK (%)
|
(JUTA Rp)
|
(JUTA Rp)
|
(Rp)
|
(TAHUNAN Rp)
|
(TAHUNAN Rp)
|
(Rp)
|
0
|
0
|
33
|
20
|
53
|
126
|
73
|
3
|
30
|
21
|
20
|
71
|
126
|
55
|
5
|
50
|
15
|
20
|
85
|
126
|
41
|
7
|
70
|
11
|
20
|
101
|
126
|
25
|
10
|
100
|
6
|
20
|
126
|
126
|
0
|
Menentukan Kelayakan
Pendirian Proyek
Benefit cost ratio
analysis secara matematis merupakan perbandingan nilai ekuivalen semua benefit
terhadap nilai ekuivalen semua biaya. Perhitungan ekuivalensi bisa menggunakan
salah satu dari beberapa analisis.
Rumus :
B/C= PWbenefit/(PW cost)=
FWbenefit/FWcost=AWbenefit/Awcost
Untuk kriteria
pengambilan keputusan untuk alternatif tunggal adalah dengan cara melihat nilai
dari B/C apakah besar dari sama dengan satu atau kecil dari satu.
Berarti
|
Maka
|
|
B/C ≥ 1
|
alternatif investasi
atau proyek layak (feasible)
|
proyek diterima
|
B/C < 1
|
alternatif investasi
atau proyek tidak layak (not feasible)
|
proyek ditolak
|
B/C = 1
|
alternatif investasi
atau proyek impas (tidak untung/rugi)
|
proyek dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan tidak berpengaruh
|
2.3 Tahapan Analisis Biaya Manfaat (Cost Benefit Analysis)
Menurut Lawrence dan Mears (2004) dalam executive
summery Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum
(2011), tahapan dasar dalam melakukan analisis biaya manfaat secara umum
meliputi:
a. Penetapan Tujuan Analisis Dengan Tepat
Sebelum data dikumpulkan, penentuan tujuan analisis
menjadi vital. Misalnyaapakah yang akan dievaluasi nantinya hanya satu
proyek/aktivitas ataubeberapa. Untuk kasus pertama, maka tujuan utamanya adalah
pendalamansedangkan pada kasus kedua adalah perbandingan. Jenis data yang
akandikumpulkan tentu saja akan berbeda. Pada kasus pendalaman, parameter-
parameteryang dikembangkan dalam penentuan biaya dan manfaat bisasangat
spesifik, namun hal ini belum tentu dapat dilaksanakan jika kasusnyaadalah yang
kedua dimana lebih diperlukan parameter agregat yang tersedia secara umum untuk
tiap aktivitas atau proyek sehingga dapatdibandingkan.
b. Penetapan Perspektif
Yang Dipergunakan (Identifikasi Pemangku kepentingan yang Terlibat)
Penetapan perspektif dalam memperhitungkan biaya dan
manfaat perlu dilakukan dari awal untuk mempertimbangkan sensitivitas hasilnya.
Dalamkonteks barang publik seperti hasil penelitian dan pengembangan
yangnantinya diproduksi masal oleh swasta dan dipergunakan luas olehmasyarakat,
komponen pemangku kepentingan masyarakat sangat pentinguntuk dilibatkan sebagai
beneficiaries agar tidak menakar terlalu rendahmanfaat yang ada.
c. Mengidentifikasi Biaya dan Manfaat
Tahapan selanjutnya yang krusial adalah mengidentifikasi
semua manfaat danbiaya. Secara umum dalam memperhitungkan manfaat terdapat
duakomponen yaitu (i) manfaat langsung dan (ii) manfaat tidak langsung.Manfaat
langsung adalah nilai kepuasan yang dirasakan oleh penerimamanfaat terkait baik
dalam bentuk nyata (barang) atau tidaknyata(intangible) seperti jasa.
Pengukuran manfaat langsung atas sebuahproduk pada umumnya dilakukan dengan
harga pasar untuk proyek swastadan harga bayangan untuk proyek pemerintah
dengan ukuran surpluskonsumen pada kurva permintaan barangnya.
Manfaat tidak langsung
secara teoretis dikenal dengan istilah
eksternalitas, yaitu manfaat yang dirasakan oleh pihak lain yang bukan penerima
manfaat utama dari aktivitas atauproduk atau proyek publik tersebut. Misalnya jika
diproduksi alat atauteknologi penanganan kemacetan lalu lintas, maka dengan
berkurangnyapolusi udara akibat penurunan kemacetan sebenarnya penduduk
kotasebagai pihak lain mendapatkan benefit berupa peningkatan kualitas
hidup.Persoalan yang muncul kemudian adalah seberapa jauh hal-hal yang semakinjauh
kaitannya akan ikut diperhitungkan dalam manfaat maupun biaya.
d. Menghitung,
Mengestimasi, Menskalakan dan Mengkuantifikasi Biaya dan Manfaat
Setelah komponen biaya dan manfaat diidentifikasi pada
tahap sebelumnya mengkuantifikasikan dalam satuan moneter (jika memungkinkan)
atau menskalakan beberapa item yang tidak memiliki satuan kuantitiatif dan
selanjutnya dihitung untuk seluruh nilai yang satuannya sama menjadi total
biaya dan manfaat.
e. Memperhitungkan Jangka Waktu
Discount factor adalah nilai pengurang dalam masa
sekarang dari manfaat dan biaya yang akan terjadi pada periode masa yang akan
datang. Penggunaan discount factor sangat penting jika benefit dan biaya yang
muncul lebih dari satu periode dan untuk memperhitungkan ketidakpastian.
f. Menguraikan Keterbatasan dan Asumsi
Karena pada tahap kedua perspektif menjadi penentu
lingkup manfaat dan biaya yang diperhitungkan, maka keterbatasan atas tidak
dimasukkanya hal- hal yang jauh kaitannya adalah bagian dari keterbatasan dan
asumsi yang harus dijelaskan agar pengguna informasi analisis CBA memahami
batasan perhitungannya.
2.4 Konsepsi
Penjaminan Risiko Proyek KPS di Indonesia Saat Ini
1)
Kebutuhan Penjaminan dalam Skema Infrastruktur KPS
Pada
dasarnya, skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public-Private
Partnership(PPP)
adalah skema yang memungkinkan penyediaan infrastruktur Pemerintah untuk dikembangkan dan dikelola oleh
investor swasta. Skema ini akan mencakup kerja sama antara Pemerintah Daerah, Kementerian atau,
dalam kasus tertentu, perusahaan milik negara selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama
(PJPK) mewakili pihak publik/Pemerintah dan investor swasta dalam pembangunan proyek
infrastruktur.
Mengingat
proyek KPS infrastruktur pada umumnya memiliki jangka waktu yang lama (lebih dari 15 tahun), pihak swasta memiliki
kekhawatiran atas berbagai risiko transaksi dari proyek infrastruktur KPS, khususnya
risiko-risiko yang terkait dengan tindakan/tiadanya tindakan Pemerintah (risiko politik), seperti
perubahan peraturan perundangan, ekspropriasi, cidera janji Pemerintah, dan sebagainya.
Risiko-risiko
tersebut akan menjadi lebih relevan untuk proyek infrastruktur yang bernilai relative besar dan melibatkan investasi oleh
pemodal dan perbankan asing. Untuk mengatasi risiko tersebut, pihak swasta seringkali
membutuhkan penjaminan atas risiko infrastruktur dari Pemerintah.
2)
Penjaminan Risiko pada Proyek KPS melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur
(BUPI)
PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero), atau PT PII (“PII”), didirikan
sebagai respon
Pemerintah
terhadap kebutuhan akan adanya penjaminan yang memadai terhadap risiko
politik
yang melekat pada investasi di bidang infrastruktur. Melalui penjaminan
tersebut,
diharapkan
akan mendorong keikutsertaan pihak swasta yang lebih luas dalam pembangunan
infrastruktur
khususnya melalui kerangka KPS.
Sebagai
dasar pelaksanaan KPS, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden
(Perpres)
Nomor
67/2005, sebagaimana telah diubah pertama kali melalui Perpres 13/2010 tentang
Perubahan
atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
dengan
Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres 13/2010), dan kedua kali
melalui
Perpres
56/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005
tentang
Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres
56/2011).
Perpres 13/2010 menyebutkan adanya dukungan kontinjen berupa Jaminan
Pemerintah
yang dapat diberikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) melalui suatu Badan Usaha
Penjaminan
Infrastruktur (BUPI).
Untuk
itu, PII dibentuk pada tanggal 30 Desember 2009 sebagai salah satu upaya
Pemerintah mendukung percepatan pembangunan
infrastruktur di Indonesia, melalui penyediaan jaminan yang dilakukan dengan proses yang
akuntabel, transparan, dan kredibel. Disamping itu, kehadiran PII sebagai BUPI diharapkan
akan mendorong masuknya pendanaan dari swasta
untuk
sektor infrastruktur di Indonesia melalui peningkatan kelayakan kredit (creditworthiness) yang dapat berdampak pada penurunan cost
of fund terhadap proyek-proyek infrastruktur.
Secara
ringkas, tujuan pembentukan PII adalah untuk:
•
Meningkatkan kelayakan kredit atas proyek-proyek KPS Infrastruktur melalui
pemberian
penjaminan
atas risiko infrastruktur;
•
Meningkatkan tata kelola dan proses yang transparan dalam pemberian Penjaminan
atas
risiko
proyek infrastruktur yang terkait dengan Pemerintah;
•
Memfasilitasi keberhasilan transaksi bagi PJPK (Kementerian, BUMN, Pemda)
melalui
penyediaan
penjaminan bagi proyek KPS yang telah distruktur dengan baik; dan
•
Memagari (ring-fencing) kewajiban
kontinjensi Pemerintah dan meminimalkan ‘sudden
shock’
kepada APBN.
2.5 Lingkup dan Pengembangan
Layanan PII
Pada
dasarnya, PII bertindak sebagai Penjamin (Guarantee
Provider) kepada sektor swasta atas
berbagai
risiko infrastruktur yang mungkin timbul sebagai akibat dari tindakan atau
tidak
adanya
tindakan Pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian finansial atas Perjanjian
KPS,seperti keterlambatan pengurusan perijinan, lisensi, perubahan peraturan
perundanganundangan,ketiadaan penyesuaian tarif, kegagalan pengintegrasian
jaringan/fasilitas dan risikorisiko lainnya yang ditanggung atau dialokasikan ke Pemerintah dalam
masing-masing Perjanjian KPS.
Berbagai
peraturan perundangan yang mengatur operasional penjaminan PII adalah
sebagaiberikut:
Perpres
No.67/2005, j.o Perpres No.13/2010 , jo Perpres No.56/2011 (“Perpres 67/2010
j.o Perpres 13/2010 jo. Perpres
56/2011”).
Perpres
No. 78 tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerjasama
Pemerintah
dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan
Infrastruktur
(“Perpres 78/2010”).
Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) No. 260/PMK.011/2010 tahun 2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan
Penjaminan Infrastuktur dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha
(“PMK 260/2010”).
Berdasarkan
regulasi di atas, bisnis utama dari PII adalah menyediakan penjaminan atas
kewajiban
finansial PJPK sebagai wakil Pemerintah dalam suatu Perjanjian KPS.
2.6 Skema Penjaminan Risiko
Proyek KPS PII
1)
Model Bisnis Penjaminan PII
Penjaminan
infrastruktur merupakan bentuk dukungan fiskal dari Kemenkeu untuk proyek
infrastruktur
yang didanai pihak swasta. Penjaminan ini dimaksudkan untuk menjamin
3 komitmen kontraktual PJPK dalam
memenuhi kewajiban keuangannya dalam Perjanjian KPS. Sesuai regulasi yang ada, penjaminan tersebut dapat diberikan melalui
BUPI.
Hubungan Kontraktual & Kewajiban
Pembayaran
Selaku
BUPI, PII akan mengadakan Perjanjian Penjaminan dengan Investor atau Badan
Usaha
(BU),
yang menjamin kinerja PJPK dalam memenuhi Perjanjian KPS, spesifik terhadap
risikorisiko yang dialokasikan kepada PJPK dalam
Perjanjian KPS, dan telah disepakati oleh PII untuk diikutsertakan dalam struktur
penjaminan.
Regulasi
mengatur bahwa untuk setiap pembayaran yang dilakukan PII berdasarkan
Perjanjian Penjaminan, PII memiliki hak regres
kepada PJPK, dimana PJPK berkewajiban untuk menggantikan nilai klaim yang
dibayarkan PII tersebut, ditambah nilai waktu dari uang (time value of money).
Secara rinci, hak regres PII dan kewajiban penggantian oleh PJPK ini diatur dalam suatu Perjanjian Regres antara
PII dan PJPK.
2)
Cakupan Risiko Penjaminan Infrastruktur
Konsisten
dengan PMK 260/2010 tentang cakupan risiko penjaminan infrastruktur oleh
PII,kategori risiko yang terkait kewajiban finansial PJPK harus mengikuti
prinsip alokasi risiko, yang didefinisikan
sebagai pengalokasian risiko kepada pihak yang relatif lebih mampu mengendalikan risiko. Regulasi ini
juga mensyaratkan PII untuk menerbitkan Acuan Alokasi Risiko dalam membantu PJPK melakukan
identifikasi dan alokasi risiko.
Saat
ini acuan ini telah tersedia sebagai referensi dan mencakup detil mengenai
kemungkinan cakupan risiko dalam penjaminan
infrastruktur. Walaupun dalam Acuan tersebut, kategori risiko yang secara tepat memenuhi
prinsip ini akan bervariasi sesuai sektornya, pengalokasian final akan bergantung kepada kondisi
spesifik dari masing-masing proyek KPS.
3)
Kriteria Kelayakan Proyek KPS untuk Evaluasi Penjaminan
Setiap
proyek KPS yang diusulkan untuk menerima penjaminan melalui PII harus memenuhi kriteria berikut ini:
Kriteria
1 : Proyek harus merupakan KPS, tunduk kepada Perpres 67/2005 j.o. Perpres
13/2010 j.o. Perpres 56/2011.
Kriteria
2: Proyek tunduk kepada regulasi sektor terkait dan rencana pengadaan dilakukan
melalui
proses tender yang transparan dan kompetitif.
Kriteria
3: Proyek harus layak secara teknis, ekonomi, finansial, dan lingkungan, serta
secara sosial tidak berdampak negatif.
Kriteria
4: Perjanjian KPS harus memiliki ketentuan yang sesuai untuk arbitrase yang
mengikat.
4)
Co-Guarantee dan
Mekanisme Satu Pintu
Co-Guarantee
adalah penjaminan yang melibatkan satu atau lebih penjamin tambahan (Coguarantor)bersama
dengan PII. Penjaminan dapat dilakukan dengan cara penjaminan hanya oleh PII, atau Penjaminan bersama
yang mencakup Penjaminan PII bersama-sama dengan pihak lain dan atau dengan Pemerintah.
Penjaminan bersama antara PII dan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam PMK
260/2010, dilakukan berdasarkan pembagian risiko infrastruktur antara PII dan
Pemerintah.
Namun
demikian, Pemerintah menekankan pentingnya optimalisasi penggunaan penjaminan PII, untuk menjaga risiko fiskal
negara dan konsistensi terhadap mekanisme pemagaran atau ring fencing atas
APBN. Maka, selain melalui komitmen Pemerintah untuk mencukup permodalan PII melalui mekanisme
anggaran negara berupa Penanaman Modal Negara, optimalisasi penjaminan PII dapat
dicapai melalui kerjasama antara PII dengan lembag keuangan multilateral atau pihak lain
dengan tujuan dan fungsi serupa.
Prioritas Penjaminan
Saat
ini, sedang difinalkan antara PII dan Bank Dunia dokumentasi terkait dukungan
Bank Dunia dalam bentuk fasilitas penjaminan
yang ditujukan untuk memungkinan PII melakukan coguarantee dengan Bank Dunia pada proyek-proyek
tertentu yang disepakati kedua belah pihak.
5)
Aplikasi Skema Penjaminan PII
Salah
satu contoh skema penjaminan yang telah dilakukan PII adalah pada Proyek KPS Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa
Tengah 2x1000 MW atau Central Java Power Plant (CJPP).Profil
proyek ini beserta struktur penjaminannya dapat dilihat pada Tab berikut.
1. Profil Proyek KPS PLTU Jawa Tengah dan
Struktur Penjaminannya
Terkait
kapasitas penjaminan PII yang masih terbatas (dengan mempertimbangkan modal PII dibandingkan dengan nilai proyek dan
CJPP sebagai proyek pertama PII), Pemerintah RI melalui Menteri Keuangan juga terlibat
sebagai co-guarantor bersama-sama dengan PII. Skema penjaminan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
Struktur Penjaminan CJPP
Berbagai
dokumen perjanjian terkait yang disiapkan dan dilakukan sinkronisasi dengan difasilitasi oleh PII adalah
sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini.
2.
Dokumentasi Perjanjian terkait Penjaminan Proyek CJPP
Jenis
Perjanjian dan Para Pihak Isi Perjanjian
§ Perjanjian
KPS: Power Purchase
§ Agreement
(PPA)
§ Para
Pihak : PLN dengan BU (PT
§ Bhimasena
Power Indonesia
§ atau
BPI)
§ Kewajiban
IPP/Seller/Badan Usaha
§ Kewajiban
PLN
§ Jual
Beli Listrik
§ Keadaan
Kahar/Force Majeure
§ Terminasi
§ Representasi
dan Jaminan, BU dan PLN
§ Arbitrasi
: ICC Rules
Hukum
yang Berlaku: Indonesia
Perjanjian
Penjaminan :
Guarantee
Agreement Para
Pihak
: BU (BPI) dengan PII dan
Pemerintah
Indonesia
§ Cakupan
Penjaminan, berdasarkan pasal-pasal dalam PPA
§ Tenor
Penjaminan
§ Persyaratan
dan tata cara pengajuan klaim
§ Mekanisme
pembayaran klaim
§ Biaya
Penjaminan
§ Terminasi
§ Arbitrasi
: ICC Rules (sesuai PPA)
§ Hukum
yang Berlaku: Indonesia
Perjanjian
Regres
Para
Pihak : PLN dengan PII dan
PLN
dengan Pemerintah
Indonesia
§ Indemnity
PLN kepada PII sebagai Penjamin
§ Indemnity
PLN kepada Pemerintah Indonesia sebagai Penjamin
§ Bunga
terhadap pembayaran klaim
§ Default
interest atas pembayaran regres
§ Mekanisme
pembayaran regres
§ Arbitrasi
: BANI
§ Hukum
yang Berlaku: Indonesia
§ Bahasa
Perjanjian Indonesia
2.7 Kapasitas Penjaminan PII 5
Tahun Kedepan
Pemerintah
telah melakukan penyertaan modal ke PII sebesar Rp2 Triliun melalui APBN 2009 dan 2010, dan telah merencanakan akan
menambah penyertaan sebesar Rp1,5 Triliun dari APBN 2011. Dalam tahap awal, PII akan
menggunakan pendekatan yang konservatif dalam pemanfaaan kapasitas penjaminannya. Seiring
dengan berjalannya waktu, PII secara bertahap akan mengurangi ketergantungan pada APBN,
dan akan meningkatkan kapasitas penjaminannya melalui kerjasama dengan institusi
penyedia jaminan sejenis, seperti institusi multilateral (Bank
Dunia,
ADB, dsb.), institusi bilateral (lembaga pembiayaan ekspor) dan institusi
sejenis lainnya. Kapasitas
penjaminan PII akan meningkat seiring dengan peningkatan modal yang menjadi sumber dana penjaminan. Jumlah proyek
yang dapat dijamin akan menjadi lebih banyak lagi, terutama apabila dapat memanfaatkan
fasilitas penjaminan yang sedang disiapkan bersama lembaga multilateral seperti Bank
Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Sesuai dengan regulasi, apabila proyek
infrastruktur dinyatakan layak untuk dijamin sementara kapasitas
penjaminan
PII terbatas dan keterlibatan co-guarantor lain
(jika ada) juga tidak dapat menutupi kebutuhan nilai penjaminan, maka Menteri Keuangan akan menutupi
kekurangannya dengan cara
melakukan penambahan modal kepada PII melalui APBN atau bertindak sebagai coguarantor dan melakukan Penjaminan bersama
dengan PII.
Dengan
kata lain, mengacu kepada regulasi yang ada, kapasitas permodalan PII bukan
merupakan
suatu kendala dalam memberikan dukungan bagi percepatan pembangunan
infrastruktur
di Indonesia. Hal terpenting yang perlu disiapkan adalah proyek yang distruktur dengan baik dengan alokasi risiko
infrastruktur yang wajar untuk dapat memastikan bankability dan sustainability
dari proyek infrastruktur, dimana PII berperan membantu PJPK dalam mengembangkannya.
2.8 Pencapaian PII dalam
Penjaminan Risiko Proyek KPS di Indonesia
Beberapa
peristiwa yang menjadi pencapaian yang dilakukan PII dalam penjaminan
infrastruktur
terhadap proyek KPS adalah sebagai berikut.
1)
Penandatanganan Perjanjian Penjaminan Proyek KPS PLTU Jawa Tengah 2x1000 MW
Penandatanganan
Perjanjian Penjaminan Proyek KPS PLTU Jawa Tengah 2x1000 MW antara PII dan Pemerintah RI sebagai penjamin
(“Penjamin”) dengan PT Bhimasena Power Indonesia (“PT BPI”) sebagai Badan Usaha menandai
keberhasilan proyek tersebut sebagai proyek infrastruktur
KPS
pertama dalam model bisnis penjaminan Pemerintah yang baru, yaitu melalui PII
sebagai Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur
berdasarkan Perpres 78/2010. Peristiwa tersebut dilakukan bersamaan dengan
penandatanganan Perjanjian Kerjasama Pembelian Listrik (Power Purchase Agreement)
antara PT PLN sebagai PJPK dan PT BPI dan Perjanjian Regres antara Penjamin dan PT PLN.
Penandatanganan
dokumen proyek ini telah membuktikan bahwa skema KPS yang didasarkan pada proses yang terbuka, kompetitif,
transparan dan akuntabel dapat dilakukan di Indonesia. Selain merupakan proyek Showcase
KPS skala besar pertama dengan nilai investasi lebih dari Rp30 Triliun, Proyek KPS PLTU Jawa
Tengah ini merupakan proyek KPS pertama yang dilaksanakan berdasarkan Perpres
67/2010 jo. Perpres 13/2010 jo. Perpres 56/2011.
Selanjutnya,
pencapaian ini akan menjadi acuan dalam penyediaan penjaminan infrastruktur lainnya di masa depan oleh PII.
2)
Penerbitan Acuan Alokasi Risiko Proyek KPS
Sesuai
dengan PMK 260/2010 yang mengamanatkan PII untuk menerbitkan acuan mengenai Kategori Risiko Infrastruktur yang bisa
menjadi rujukan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam Proyek infrastruktur Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS), PII meluncurkan Panduan Alokasi Risiko (Risk
Allocation Guideline) pada tanggal 30 Maret 2011. Dalam
proses penyusunannya, Panduan
Alokasi Risiko ini telah melalui proses konsultasi publik dengan mengundang
berbagai pemangku kepentingan yang relevan,
antara lain Kementerian Keuangan, Bappenas, BKPM, PJPK terkait (Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah), investor/pengembang,perbankan, lembaga multilateral, dan
pihak-pihak lain yang mempunyai kompetensi di bidang
Risiko
Infrastruktur.
3)
Penandatanganan MoU terkait implementasi proyek Penyediaan Air Bersih kota
Bandar
Lampung
PII
juga telah berhasil memfasilitasi penandatanganan MoU antara Pemkot Bandar
Lampung, PDAM Bandar Lampung, BPPSPAM, Bank
Dunia, dan Pemerintah Singapura melalui (Singapore Cooperation Enterprise)
untuk mendukung implementasi proyek Penyediaan Air Bersih Way Rilau, kota Bandar Lampung, Provinsi
Lampung. MoU ini diharapkan akan menjadi dasar komitmen para pihak untuk
mensukseskan proyek ini.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konsep
BCR Diterapkan untuk
proyek-proyek yang bertujuan melayani kepentingan sosial. Biasanya dihadapi
oleh pemerintah atau lembaga-lembaga sosial, karena yang menanggung biaya
adalah pemerintah/lembaga sosial, tetapi manfaatnya untuk masyarakat
SARAN
Saran
yang dapat saya berikan ialah, karena dalam penyusunan makalah ini kami hanya
berlandaskan dari buku-buku atau referensi lain yang berhubungan dalam penyusunan
makalah mengenai Benefit Cost Ratio ini, oleh karena itu kami menyarankan di
adakannya kunjungan lapangan dan praktek langsung. Dengan kunjungan lapangan
dan praktek langsung tersebut bermaksud untuk mengetahui secara langsung tentang
Benefit Cost Ratio tersebut serta penyusunannya.
DAFTAR PUSTAKA
Langganan:
Postingan (Atom)